Cerpen #1: Terkadang, Cinta Itu Buta.

—Terkadang, Cinta Itu Buta—

 

 

“Lagi liat apaan?”

“Hm? Oh ini lho, aku kayaknya bakalan punya waifu baru lagi.”

“Uh... Aku gak terlalu ngerti soal gituan. Waifu itu sama kayak istri kan?”

“Begitulah. Mereka itu tipe gadis yang masih suci dan perawan. Gak kayak kam—”

“...”

Mungkin itu adalah kata-kata terakhir yang bisa laki-laki berambut klimis itu katakan kepada teman bicaranya (mungkin itu pacarnya). Karena dari apa yang bisa kulihat, tatapan si wanita seperti sedang melihat seonggok sampah ditengah-tengah ruang tamu yang datangnya entah dari mana.

Dengan berat hati, aku mengalihkan pandanganku dari pasangan sejoli itu menuju pada langit senja.

Waifu itu apa?” Tanya seorang gadis yang ada di sampingku.

“Aku yakin itu kayak pacar dari dunia lain. Biasanya itu karakter cewek yang ada di dalam animasi buatan Jepang.”

Aku mencoba merangkai jawabanku sedemikian rupa agar gadis yang ada di sampingku tidak mencap teman pulang sekolahnya ini sebagai seorang wibu akut.

 

Untuk alasan yang tidak diketahui dalam tiga hari ini, ketika kegiatan ekskul yang ku ikuti selesai dan berniat untuk pulang, aku selalu melihat seorang gadis yang mempunyai postur yang bisa dibilang cukup tinggi dari rata-rata gadis SMA di negara ini tengah berdiri di dekat gerbang sekolah.

Pada dua hari pertama, aku hanya melihatnya dengan sekilas lalu berjalan melewatinya. Toh, jalan keluar dari sekolah cuman ada satu. Lupakan tentang hal-hal seperti melompati pagar sekolah, aku tidak ingin berada di ruangan konseling keesokan harinya karena hal konyol seperti melompati pagar sekolah hanya karena ingin terlihat keren.

Kemudian pada hari ketiga, ketika aku melakukan kebiasaan baruku seperti dua hari sebelumnya, yaitu melihat si gadis yang ada di dekat pintu gerbang sekolah. Tiba-tiba saja, gadis yang sudah kuanggap seperti penjaga gerbang itu mulai melakukan hal yang tidak pernah kupikirkan.

Dia melihatku yang berjalan mendekatinya, tersenyum dan mulai melambaikan tangannya ke arahku.

Seharusnya aku melompati pagar untuk keluar dari area sekolah hari ini.

Karena sudah terlanjur melihat dia menyapa, aku setidaknya harus membalas sapaannya. Dengan berpikiran seperti itu, aku memutuskan untuk mengatakan sesuatu.

“Sore.” Kataku singkat sambil menatapnya.

“Hm. Sore.”

Senyuman yang terpampang pada wajah si gadis penjaga gerbang ini membuatku mau tidak mau berhenti tepat di hadapannya.

Bangke! Ternyata nih cewek cantik...

“Pengen pulang ya?” Tanyaku.

Kenapa aku nanyain pertanyaan bodoh kek gitu?! Ya iyalah pasti mau pulang! Ya kali dia mau masuk sekolah jam setengah enam sore.

“Iya nih.”

Walaupun yang tadi itu pertanyaan bodoh, ternyata gadis yang ada di hadapanku ini masih bermurah hari untuk menjawabnya. Syukurlah dia tidak menjawab dengan kata-kata seperti “diliat kan udah tau” atau seperti “kamu nenya?”. Jika dia menjawab seperti itu, poin kecantikannya yang barusan kuberi nilai 90 akan dengan cepat ku ubah menjadi -30.

“Hmm...” Aku melihat sekeliling. “Lagi nunggu teman?”

“Nggak. Nunggu jemputan.” Sambil masih tersenyum, dia melanjutkan. “Yah, padahal rumahku gak jauh juga sih. Tapi gara-gara udah jam segini, pulang sendiri itu rada gimana gitu.”

“Mau kutemanin?”

“Eh?” Dia terlihat sedikit kebingungan. “Ah, gak usah repot-repot.”

“Aku gak keberatan kok. Toh rumahnya gak jauh juga kan? Kalau masih bisa ditempuh dengan jalan kaki, aku sih gak masalah.”

 

Singkat cerita, aku yang harusnya segera pulang untuk menonton serial anime kesukaanku berakhir pada event menemani gadis penjaga gerbang berjalan pulang.

Apakah aku telah membuka rute kisah romantis bersama gadis penjaga gerbang?

“Jadi, cowok yang tadi punya pacar dari dunia lain, begitu.”

“Yah, bisa dibilang kayak gitu.”

Dia sepertinya juga mendengar percakapan dua orang asing tadi.

“Enak ya bisa kayak gitu. Sudah kayak di cerita-cerita yang ada dibuku. Aku juga mau punya pacar dari dunia lain.”

“Jangan kayak gitu.” Ucapku sambil mengibas-ngibaskan tangan kanan tepat di depan wajahku. “Kebanyakan orang yang kayak gitu biasanya bakal dicap aneh sama masyarakat. Yah, makasih sama perkembangan jaman, sekarang internet bisa ngebuat kamu kayak orang normal gara-gara kamu bisa ketemu sama orang-orang yang sejenis sama kamu di internet. Walaupun itu gak bakal ngerubah fakta kalau kamu bakal tetap dicap aneh sama masyarakat kalau pola pikir atau tingkah laku kamu berlawanan sama budaya yang ada dimasyarakat tempat kamu tinggal.”

“Ru-rumit juga ya.”

“Ya emang gitu.” Jawabku ketus. “Ngomong-ngomong, apa masih jauh sampai ke rumah kakak?”

Pada akhirnya aku memutuskan memanggil dia dengan sebutan kakak. Dengan proses eliminasi selama tiga hari ini dan pengetahuanku selama satu semester bersekolah, aku dapat memastikan kalau tidak ada seorang gadis yang mempunyai postur yang tinggi seperti si gadis penjaga gerbang ini di angkatanku. Jika dipikir lebih dalam, para senior kelas tiga juga tidak akan (harusnya!) ada pada area sekolah lagi setelah jam 3 sore, mereka sudah tidak mengikuti kegiatan ekskul lagi sejak mereka menduduki kelas tiga karena harus fokus pada ujian kelulusan. Jadi, kemungkinan yang paling tinggi adalah kalau gadis penjaga gerbang ini adalah seniorku kelas dua.

“Sebentar lagi sampai kok. Tinggal lurus lalu belok ke kiri.”

Jam tangan dua ratus ribuan yang kupakai menujukan pukul 18:17.

Jalan lurus yang kami berdua ikuti sejak tadi setidaknya masih ada sekitar tiga ratus meter sebelum menemui persimpangan jalan. Dan masih ada belokan ke kiri yang aku sendiri belum tahu sejauh apa aku harus berjalan untuk bisa sampai pada tujuan.

Jika dipikir kembali. Bukankah kami sudah berjalan kurang lebih sekitar 45 menit? Masih ada sekitar tiga ratus meter lagi sebelum kami baru mengambil jalan ke kiri. Dan yang lebih parah lagi, berapa puluh, atau ratus meter lagi kami harus berjalan setelah mengambil jalan ke kiri nanti?

Aku mulai mengira-ngira. Kemungkinan kami sampai ke rumah kakak penjaga gerbang ini pukul 18.30an sangatlah kecil kemungkinannya. Jadi aku membuat kesimpulan liar jika selambat-lambatnya kami sampai ke tujuan—rumah kakak penjaga gerbang—adalah pukul tujuh.

Perkiraan itu bisa dibilang cukup membuatku merasa tidak nyaman.

Sebenarnya, menurutku tidak terlalu buruk sampai pada rumah gadis ini sekitar jam tujuh. Itu tidak bisa dianggap kemalaman (menurutku). Hanya saja, setelah dari rumah kakak inilah yang menjadi masalahnya.

Jika kuhitung kembali, dari sekolah sampai pada tempat kami sekarang sudah mencapai kurang lebih 50 menit. Dan dari sekolah menuju ke kost-ku memakan waktu sekitar 20 menit. Yang berarti, jika dari tempat kami sekarang, aku akan menghabiskan sekitar 1 jam 10 menit untuk bisa sampai ke kost. Aku juga tidak melupakan waktu yang belum terhitung dan kemungkinan-kemungkinan sebuah faktor X yang akan menghambatku pulang nantinya.

Aku juga telah memeriksa jalanan sekitar kalau-kalau ada jalan pintas untuk bisa memperpendek jarak dari rumah gadis ini ke kost milikku nanti. Tetapi sepertinya jalan yang kuharap ada itu ternyata tidak ada. Yah, sebenarnya ada jalan-jalan yang arahnya sepertinya memiliki potensi berakhir pada jalan menuju kost-ku, hanya saja aku tidak ingin mengambil risiko untuk melewati jalan yang tidak pasti ujungnya ke mana. Jadi, sepertinya kembali ke jalan sekolah adalah pilihan terbaik.

Kalau tidak salah, kakak penjaga gerbang ini tadi mengatakan sesuatu seperti ‘rumahku gak jauh juga sih’ atau hal yang mirip seperti itu. Tapi menurutku ini jauhnya sudah keterlaluan untuk ditempuh dengan berjalan kaki.

Kesimpulannya, berjalan pulang dari rumah gadis penjaga gerbang ini nanti akan sangat melelahkan. Jadi lebih baik memesan ojek online.

?

“Oh iya, kakak gak coba nelpon atau nge-chat orang rumah supaya dijemput pas di gerbang sekolah tadi?”

“Ah...” dia memandang langit yang sudah mulai berwarna oranye. “Sayangnya aku gak punya HP.”

Cukup langka menemukan ada siswi SMA yang tidak mempunyai ponsel pada jaman sekarang.

Strategi bertukar kontak dengan sekejap mata lenyap dari pikiranku.

“Repot juga ya.”

“Kalau menurutku gak juga sih. Aku juga gak terlalu mikirin soal ada atau nggaknya HP di aku.”

“Yaa, kalau kakak bilang begitu...” Kami akhirnya sudah mencapai ujung dari jalan lurus tadi dan mulai berjalan ke arah kiri pada sebuah persimpangan. “Tapi gimana caranya kalau mau ketemuan sama teman? Kayak mau kerumah teman gitu.”

“Kalau masalah itu sih... hmm... gimana ya... pas SMA, kalau ketemuan sama teman-teman sih biasanya aku nyuruh mereka ke rumahku aja kalau mau kumpul-kumpul. Selebihnya itu aku ngumpul sama teman disekolah.”

“Tugas sekolah?”

“Komputer bapak.”

Kalau memang begitu memang benar jika sebuah ponsel tidak akan terlalu diperlukan.

Kalau memang begitu...

Mungkin saja...

Aku berharap ini benar...

“Kalau gitu...” aku menelan air liurku sebelum melanjutkan. “Kakak gak ada pacar?”

Ya Tuhan, semo—

“Nggak.” Dia menggeleng.

Yosh!

Walaupun bisa dibilang aku baru berkenalan dengan gadis ini pada hari—Tidak, lebih tepatnya sore ini. Ada satu hal yang benar-benar menggangguku. Entah kenapa, pada saat kedua mata kami bertemu dan ketika dia menyapaku dengan senyuman lembut sore tadi, aku tidak bisa melupakan momen singkat itu.

Terlebih, senyumannya tadi sampai sekarang masih belum bisa hilang dari pikiranku.

Mungkin... pada saat itu. Saat mata kami bertemu satu sama lain. Saat itu juga aku sudah tenggelam dalam perasaan ini. Dan pada saat dia memberitahuku jika dia tidak mempunyai pacar, hatiku menjadi terasa lega bercampur dengan sebuah rasa senang.

Mungkin... aku menyukai gadis ini pada saat hari pertama aku melihatnya.

Mungkinkah... ada kesempatan berpacaran dengannya bisa menjadi kenyataan?

“Kamu sendiri gimana?” Gadis penjaga gerbang itu bertanya. “Hmm... Kayaknya gak punya juga ya? Soalnya kalau punya, gak mungkin kamu mau nemanin pulang.”

“Gh! Entah kenapa rasanya sakit kalau dikatain gitu. Tapi yah... bener sih kalau aku gak punya pacar.”

“Samaan dong!”

Hm? Apakah mungkin kakak penjaga gerbang ini sedang memberikanku sebuah kode? Apakah ini pertanda OK.

Cahaya langit yang sudah mulai redup  memperlihatkan beberapa bintang. Angin sepoi-sepoi membuat wajahku sedikit merasakan hawa dingin. Dedaunan pada pepohonan dan rerumputan  yang bergoyang tertiup angin seolah sedang menari-nari disertai barisan batu yang solah sengaja ditancapkan pada tanah dan diberi jarak tertentu padanya membuat waktu yang kuhabiskan bersama kakak ini terasa tidak melelahkan.

“Enak ya punya pacar...”

“Hmm... aku gak tau enaknya di mana sih... soalnya aku gak pernah pacaran. Dari dulu.”  Aku mempertegas.

“Eh? Yang bener?”

“Buat apa aku bohong? Gak ada untungnya juga.”

“Kalau dipikir-pikir iya juga.”

“Lagian aku sampe sekarang gak pernah kepikiran mau pacaran. Bukan gara-gara gak mau, cuman gimana ya... kayak gak punya waktu aja buat hal gituan.”

“Gak punya waktu? Memangnya kamu nagapain aja sampe gak punya waktu?”

“Hmm...”

Sejauh yang dapat ku ingat, sekolah adalah tempat yang paling banyak memakan waktuku.

Kalau dipikir kembali, aku bukanlah anak yang terbilang aktif. Ketika disekolah pada jam istirahat, aku sering menghabiskan waktuku di perpustakaan. Bukan karena aku menyukai buku-buku yang ada di sana, hanya saja, tempat seperti perpustakaan yang bersuasana sunyi membuatku merasa nyaman di sana. Aku juga menyukai ruang UKS, lupakan soal bau obat-obatannya, ruangan UKS juga terbilang cukup tenang (walaupun pada saat tertentu akan ada keributan yang dihasilkan dari satu atau beberapa anak perempuan yang terlihat seperti emosi mereka sedang kacau yang menjadikan mereka seperti atau bertingkah seperti seekor binatang buas).

Di rumah atau di kost sekarang ini, aku tidak terlalu suka keluar dari rumah. Aku hanya akan keluar jika ada keperluan. Selebihnya, aku hanya akan menghabiskan waktuku membaca novel, menonton dan bermain game.

“Gak tau juga sih. Kalau kupikir lagi, aku cuman sibuk ngerjain hal yang kusuka aja, walaupun itu hal gak penting.” Ucapku. “Lagian kan sudah aku bilang kalau hal kayak mau pacaran jarang banget kepikir.”

“Berarti pacaran belum kamu anggap penting ya?”

“Bisa juga kakak anggap gitu.”

“Pacaran ya...”

Gadis yang berjalan disampingku terlihat menatap langit seakan tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Lampu jalan yang sedari tadi menyala terlihat beberapa kali berkedip-kedip.

“Oh iya!” Dia menepuk kedua tangannya. “Itu lho... pacar dunia lain!”

“Hah?”

“Gimana kalau pacar dari dunia lain?” Ucap gadis penjaga gerbang itu dengan nada ceria. “Kalau kupikir-pikir, gimana kalau pacaran yang kamu anggap gak terlalu penting kamu campur ke hal yang kamu suka.”

“Maksudnya?”

Aku kurang memahami kata-katanya.

“Gini lho... kayaknya aku ngerti ninggalin apa yang kita suka itu susah. Nah, gimana kalau bisa pacaran tapi gak ninggalin hal yang kita suka juga.”

“Eh?... Hah?... Hmm?... Tapi bukannya itu kita harus punya pacar yang satu hobi sama kita? Cari yang kek gituan tingkat nyarinya susah lho.”

“Nah. Itu kenapa aku bilang pacar dari dunia lain.”

Sepertinya dia terobsesi dengan ‘pacar dari dunia lain’ ini sejak tadi. Apakah benar-benar semenarik itu semua hal tentang ‘pacar dunia lain’ ini? Bahkan hal itu tidak mungkin nyata adanya.

Intinya, itu hanyalah sebuah khayalan belaka.

“Gini. Punya pacar yang punya hobi yang sama lalu gak ngerepotin itu bukannya cuman ada di dunia lain?”

“Huh?”

Perkataannya seperti seseorang yang seolah-olah pernah ke dunia lain.

“Aku memang gak pernah ketemu. Tapi bukannya orang kayak gitu juga ada di dunia kita? Nyarinya saja yang susah.”

“Hmm...”

Gadis penjaga gerbang itu terlihat memikirkan hal ini dengan serius, seolah topik ini adalah masalah global.

“Gimana kalau gini. Pacar yang punya  kemampuan khusus kayak ngelewatin ruang dan waktu. Jadi kalau mau ketemuan gak ngerepotin sama gak buang-buang waktu.”

“Kayak teleportasi gitu?”

“Ya! Kayak gitu. Manusia dunia sini kan gak bisa kayak gitu.”

Aku merasa topik ini sudah kelewat liar.

Memang, jika berbicara tentang dunia lain bukanlah hal yang aneh menemukan cerita orang-orang yang mempunyai kemampuan supranatural. Jangankan kemampuan teleportasi, aku bahkan pernah menonton serial anime yang karakternya mempunyai kemampuan yang bisa memungkinkan dia mengalahkan seorang raja iblis dengan sekali jentikan jari, padahal dia hanyalah seorang loli.

Tapi, karena masih ada unsur ‘dunia lain’, aku masih bisa melanjutkan sambil menahan diri.

“Emangnya ada orang dari dunia lain di dunia sini? Yang ada kubilang tadi, kita bakal dicap orang aneh kalau suka ngomong gituan.”

“Ah!”

Kakak penjaga gerbang itu tiba-tiba berhenti, membungkuk, berusaha memperbaiki tali sepatunya sambil melanjutkan.

“Kalau gak dicari gak bakalan tau kan.”

Aku berdiri membelakanginya sambil menunggu kakak penunggu gerbang itu berdiri.

“Hmm... dicari kemanapun kayaknya gak bakalan ketemu deh orang kayak gitu. Pacar dari dunia lain huh...”

Aku mulai memikirkannya. Langit terlihat mulai gelap sembari menampilkan indahnya taburan bintang-bintang. Lampu jalan berkelap-kelip seolah itu adalah lampu hias yang ada pada pohon natal.

Apa mungkin ada suatu hal seperti itu? Seseorang yang mempunyai hobi yang sama sepertiku dan bisa melakukan hal supranatural seperti berteleport dari tempat satu ke tempat lainnya. Jika hal itu benar-benar ada, mungkin itu hal yang keren.

“Ah! Mungkin ada.” Kataku.

“Hm?”

“Bukannya hantu itu makhluk yang udah bisa dibilang dari dunia lain? Dan juga, walaupun aku gak tau pasti, bukannya mereka bisa pindah dari satu tempat ke tempat lain cepat banget?”

“...”

“Lagian aku gak pernah ngeliat film atau cerita ada hantu cewek yang suka baca novel sama suka main game. Lagian...” aku melanjutkan, “pacaran sama dedemit itu agak...”

“Aku suka baca novel!” kakak penjaga gerbang sekolah itu berdiri sambil mengangkat tangan.

“Aku bukan ngomongin kakak!”

Aku kembali mulai melangkah.

Suara yang dihasilkan olah sepatu kakak penjaga gerbang itu terdengar seperti sebuah irama.

“Kita ngomongin dedemit lho. Pacaran beda alam itu kedengarannya ngeri.”

“Hihi.” Terdengar cekikikan dari belakang. “Asyik juga ya ternyata pulang bareng kayak gini. Kamu orangnya juga asik dibawa ngobrol. Kayaknya aku suka sama kamu.”

Mendengar kalimat terakhir barusan, tubuhku secara spontan menegang.

“Ja-jangan ngegoda aku kak!” Aku sedikit menambah kecepatan jalanku karena malu. ”Kita lagi ngmongin hal lain lho. Jangan tiba-tiba ngubah topik seenak jidat!”

“Hehe. Maaf, maaf.”

Suaranya seperti orang yang meminta maaf dengan nada bercanda kemudian melanjutkan.

“Gak papa juga kan pacaran beda alam kalau mereka sama-sama suka.”

“Emangnya kakak gak ngerasa ngeri? Bayangin aja pacaran sama ded—”

“Bukannya banyak yang bilang kalau cinta itu buta. Jadi, alam yang beda gak jadi halangan kalau mereka betul-betul saling cinta.”

“...”

Aku terdiam sebentar memikirkan kata-kata barusan.

Memang, ada beberapa cerita tentang kisah cinta antara sorang manusia dengan ‘makhluk lain’. Dari cerita-cerita mitologi sampai dengan sekarang pun cerita tentang kisah cinta dua makhluk yang berbeda sangat banyak bahkan aku sampai tidak bisa menghitungnya. Hanya saja...

Itu hanyalah sebuah cerita, sebuah coretan yang ada pada sebuah buku, sebuah kisah yang ada pada sebuah buku bergambar, sebuah kisah yang ditayangkan pada sebuah film.

Dengan kata lain... itu tidaklah nyata.

“Anu yah kak...”

“Ngomong-ngomong,” sebuah tangan menggapai bahuku. “Makasih ya udah ngantarin aku pulang.”

“??? Kan udah kubilang dari awal kalau gak ma———eh?”

Ketika aku membalikkan badan, pada detik itu juga aku tertegun.

Tidak ada seorangpun di situ.

Tidak ada seorang gadis yang mempunyai postur yang bisa dibilang cukup tinggi dari rata-rata gadis SMA di negara ini.

Tidak ada gadis yang tiga hari lalu selalu berdiri di dekat pintu gerbang sekolah.

Tidak ada.

Aku tersenyum pahit.

Lampu jalan yang sedari tadi berkelap-kelip menerangi jalanan yang sunyi ini.

Batu-batu yang tertancap pada tanah yang seolah sengaja diberi jarak tertentu itu menjadi pemandangan yang mengiasi sisi jalanan ini.

Kelap-kelip lampu jalan itu cukup untuk menerangi pemandangan yang ada di pinggir jalan tersebut. Batu-batu yang ada terlihat seperti memiliki motif pada mereka —tidak, jika dilihat lebih jelas, itu adalah sebuah tulisan. Sebuah rangkaian huruf dan angka.

“Heh...” Aku meringis.

Jam murahku menunjukkan pukul 18.38.

Sambil memandang langit malam. Aku memikirkan apa yang dikatakan gadis yang beberapa saat tadi ada di sini.

Cinta itu buta, huh?